Santri sebagai Penggerak Ekonomi Warga Sekitar
Pesantren di Indonesia sudah ada sejak jaman Majapahit (Adnan
Mahdi, 2013). Keberadaan pesantren pada saat itu menjadi suatu hal yang sangat
penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Peran santri pada masa itu lebih
fokus terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, hal itu tidak terlepas dari basic demand Indonesia yang masih berada di tangan penjajah Belanda.
Dengan senjata bambu runcing, santri tidak segan turun ke gelanggang perang
membela tanah air.
Namun pada era ini, perjuangan para santri seperti di atas sudah
tidak relevan lagi. Oleh karenanya, arah juang santri harus beralih kepada
permasalahan yang krusial dan dampaknya dirasakan oleh lingkungan sekitar,
seperti masalah ekonomi misalnya, saat ini menjadi masalah yang massif di
tengah masyarakat. Dalam hal ini santri tidak dituntut menjadi ahli ekonom atau
pengamat ekonomi, tidak. Tetapi cukup menjadi penggerak saja.
Santri sebagai
Penggerak
Dahulu, untuk memiliki mata pencaharian mapan dan konsisten,
masyarakat harus pergi jauh merantau ke dalam atau luar negeri. Hal itu tiada
lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga seorang kepala keluarga
harus rela meninggalkan kampung halaman, anak dan istri yang perkembangannya
ada di dalam pengawasannya.
Hadirnya pesantren dengan jumlah santri mulai dari ratusan hingga
ribuan yang datang dari berbagai daerah menjadi rahmat tersendiri bagi
masyarakat sekitar. Entitas santri di suatu pesantren yang menetap dengan
tenggang waktu yang lama akan menjadi pelaku ekonomi yang menguntungkan bagi
warga. Dalam hal ini warga cukup menyediakan kebutuhan santri di sekitar
pesantren mulai dari kebutuhan makan, minum, alat tulis dan kebutuhan pakaian.
Dengan begitu, pola interaksi antar santri dan masyarakat tidak hanya sebatas
interaksi sosial semata, tapi juga menjadi mata rantai ekonomi yang saling
bergantung satu sama lain.
Dengan catatan, pola itu akan terbangun apabila lembaga pesantren
sendiri tidak membatasi interaksi santri dengan masyarakat. Pesantren saat ini
kebanyakan membangun tembok pagar yang tinggi untuk membatasi kontak santri
dengan masyarakat. Bahkan tidak cukup itu, selain ditetapkan suatu aturan yang
sangat ketat, pesantren juga menyediakan kebutuhan santri hampir semuanya mulai
dari kebutuhan pokok hingga skunder. Sehingga kehadiran santri tidak begitu
terasa bagi masyarakat sekitar, bisa saja dianggap orang asing, malah yang
paling mengenaskan masyarakat hanya mendengar suara riuhnya saja.
Mendirikan
Lembaga Usaha
Menjamurnya lembaga ekonomi swasta saat ini sudah tidak dapat
dibendung lagi, bukan hanya di tingkat kabupaten melainkan sampai ke tingkat
kecamatan dan desa. Kondisi ini dikhawatirkan akan mematikan terhadap usaha
kecil milik masyarakat yang berada di lingkungan sekitar. Di samping itu,
pesantren juga hadir memperamai lembaga usaha di berbagai daerah dengan konsep
tidak jauh berbeda dengan lembaga yang hadir pertama kali.
Sesuai amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, dalam
rangka mendukung peran pesantren terhadap masyarakat, pesantren dapat melakukan
beberapa hal diantaranya adalah mendirikan lembaga usaha mikro, kecil dan
menengah (Pasal 45 huruf c). Pasal tersebut dimaksudkan untuk program pesantren
dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Kehadiran lembaga usaha milik pesantren
supaya tidak membuat pelaku usaha kecil khawatir akan usahanya, maka harus
tampil berbeda daripada lembaga usaha lain, minimal dalam dua hal.
Pertama, keberadaan lembaga usaha pesantren harus menyerap produk local
sehingga ancaman mematikan bagi usaha kecil milik masyarakat tidak menjadi
momok lagi.
Kedua, pada segmen ini para santri sebagai subjek di dalam lembaga usaha
milik pesantren harus berperan aktif untuk mengayomi masyarakat dalam menciptakan
produk yang baik dan bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lainnya.
Kemudian dibantu dalam pemasaran atau lebih simpelnya dimasukkan ke dalam
lembaga usaha milik pesantren (Pasal 45 huruf d).
Langkah ini paling tidak akan menjadikan pesantren sebagai pemilik
usaha menjadi mandiri dalam ekonomi sekaligus juga menjadi penggerak ekonomi
warga, tentunya lebih efektif dengan inovasi-inovasi terbarukan.
Terakhir, sudah
seharusnya santri hadir dengan menawarkan problem solving bagi masyarakat,
sehingga keberadaan santri tidak hanya dipandang sebagai sosok yang sok tahu, menggurui dan dan miskin
inovasi. Santri harus jadi sosok yang elegan; pandai ilmu agama dan juga punya
kreativitas dalam dalam membangun ekonomi yang rahmatan lil’alamin bagi lingkungan sekitar. Kalau bukan santri,
lantas siapa yang akan mengayomi masyarakat? Selamat Hari Santri!
Tidak ada komentar untuk "Santri sebagai Penggerak Ekonomi Warga Sekitar"
Posting Komentar