Tafsir Orientalis Terhadap Otentitas Al-Qur’an
Doc. Internet |
Awal munculnya orientalis di dalam tubuh Islam tak lepas dari adanya ekspansi wilayah yang dilancarkan para khalifah muslim pada abad 9-18 M ke daerah Eropa. Namun, tidak ada yang dapat melacak secara pasti kapan dan dimana tepatnya orientalis ini muncul dan merengsek ke dalam tubuh-tubuh Islam. Pendapat-pendapat yang menyertai pengertian orientalis pertama kali dibukukan oleh Edward W. Said yang mana Said membahas secara komprehensif mengenai pengertian serta saduran term orientalis dalam bukunya Orientalism: Wetern Conceptions of the Orient. Dalam bukunya, Said mengatakan bahwa orientalis merupakan siapa saja orang yang mengajar, belajar, menulis maupun mengadakan penelitian tentang dunia timur.
Sedangkan orientalisme adalah suatu
kerangka berfikir yang menempatkan dunia menjadi dua bagian yakni timur dan
barat. Pembagian ini sebagai pranata awal dari pembentukan paradigma-paradigma
akademis mengenai sitem sosial budaya untuk memposisikannya sebagai serangan
ataupun patner. Dalam catatan awal munculnya paradigm ini adalah jebolan dari
kaum barat yang memiliki misi mendominasi panggung politis dan menegakkan
kekuasaan imprealis di daerah timur.
Kajian yang dilakukan oleh para orientalis tidak hanya berkutat pada satu aspek saja. Hampir semua bidang diisi dalam kajian-kajian orientalis.Hal ini mengidentifikasikan bentuk ketertarikan yang sangat besar orientalis terhadap timur. Dan yang perlu kita cerna adalah bidikan utama kajian orientalis adalah Islam.
Islam yang merupakan agama rahmatan lil-alamin mengajarkan ummatnya untuk selalu tunduk dan patuh terhadap kitab sucinya al-Qur’an.Tidak ada keraguan atas ke absahan al-Qur’an yang kita pegang sekarang dengan yang diwahyukan Allah SWT pada Nabi Muhammad 14 abad silam. Salah satu kajian orientalis yang hampir mengguncang ke imanan ummat muslim adalah mengenai kebenaran al-Qur’an sebagai kitab suci. Kajian dengan fokus teks dan qira’at yang mereka lakukan tak pelak memunculkan polemik di hadapan cendekiawan muslim.
Al-Quran terpelihara murni dan hal ini jelas dikatakan dalam salah satu ayatnya Q.s al-Hijr (15):9 yang berbuyi Dengan jaminan ini umat Muslim sangat percaya mengetakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang tidak akan ada siapapun yang dapat menandingi serta merusak kemurniannya.
Sayangnya, paradigma ini mulai terusik
ketika kaum orientalis melancarkan kritisasinya dan menggulirkan keragua
melalui pintu masuk mushaf Utsmani.
Ironisnya, banyak cendekiawan muslim
tepengaruh oleh kajian ini yang menyatakan “Keragaman bacaan al-Qur’an dalam berbagai mushaf ada dalam
tradisi bacaan al-Qur’an”. Stigement yang dipupuk dalam tubuh mereka melalui
kritis sejarah penurunan al-Qur’an. Menurut Noldeke dan Ignaz Goldizher,
“Tulisan Arab yang ditulis tanpa ada tanda baca dan pembacaannya (qira’at)
berbeda-beda kadang kala mencerminkan satu titik orientasi bahwa teks al-Qur’an
yang diterima secara luas sebenarnya berandar pada keteledoran penyalin naskah
itu sendiri”. Dan dibakukannya car abaca al-Qur’an dalam mushaf Utsmani menjadi
panggung kritis terbesar bagi mereka.
Sebenarnya paradigma seperti ini wajar dipakai mereka, mengingat standar yang mereka gunakan adalah standar kritik Bible mengenai varian bacaan di dalamnya. Mengingat Bibel terbagi menjadi Perjanjian lama dan Baru sehingga memunculkan keragaman di dalamnya. Bahkan Jhon Mull menemukan 30.000 varian bacaan Bibel melalui kritis teks. Akan tetapi, merekka tidak mengkaji al-Qur’an secara komprehensif dan hanya mengambil ayat-ayat yang menurut mereka relevan untuk dijadikan serangan.
Karena, dalam Bibel tidak ada
atupun ayatnya yang menyatakan penjagaan kemurnian isinya sampai akhirat kelak.
Sedangkan al-Qur’an sudah dengan gambling menyatakan otentisitasnya sampai kapanpun.
Selain itu, untuk menunjang pemikirannya
ini, Noldeke, Goldizher dan beberapa orientalis lainnya sampai terdorong untuk
meneliti da mengumpulkan berbagai macam jenis qira’at yang lemah dan
menyimpang. Seperti pula upaya Gotthelf Bergstraserr mengedit karya Ibnu Jinni
dan Ibnu Khalawayh.
Melalui penelitian yang mereka lakukan ini muncullah asumsi bahwa bahasa al-Qur’an yang menggunakan bahaa Arab sebagai sebab terjadinya perbedaan qira’at. Ghaldizher dan rekan sesama orientalisnya R. Blacher menganggap mayarakat muslim dahulu, mengubah sebuah kata ayat al-Qut’an dilegalkan dalam Islam. Mereka juga beranggapan kaum muslim lebih mementingkan ruh al-Qur’an bukan huruf dan teksnya. Hal inilah yang mereka justis sebagai penyebab lahirnya perbedaan qira’ah. Karena, menurutnya realitanya rukhsah pembacaan al-Qur’an dalam tujug huruf hanya bersifat temporal.
Sehingga kondisi ini diakhiri pada masa Itsman bin Affan dengan membakar semua al-Qur’an para sahabat dan menetapkan satu mushaf sebagai patokan yakni mushaf Utsmani. Bechler juga berpandangan adanya penyusupan-penyusupan non-Arab sebagai pembentuk serta pengubah qira’ah al-Qur’an.
Namun, pemikiran-pemikiran orientalis tadi
sangatlah lemah karena, jika Goldizer dan
Jeffery menyamakan al-Qur’an dengan Bibel dan ditinjau melalui kaca mata
filologi tentu tidak akan menemukan titik temu. Karena, al-Qur’an menggunakan
sistem Qira’at sedangkan Bibel reading. Yang dimaksud qira’at bukanlah
membaca akan tetapi recitation from memory dan mengacu pada atu titik yang
diriwayatkan oleh Nabi Muhammad. Jadi teks haruslah mengikuti pengucapan nabi
bukan sebaliknya. Kekeliruan penafsiran ini disebabkan para orientalis
menganggap al-Qur’an sebagai karya ilmuah dan hasil saduran serta penelitian
sejarah.
Sedangkan asumsi Blacher mengenai
pengubahan-pengubahan serta ketidak beranggapan umat muslim tidak mementingkan
teks al-Qur’an tidak berdasar. Pada hakikatnya, al-Qur’an angat terjaga susunan
teksnya sedangkan motif penyatuan mushaf pada masa khalifah Utsman bukan karena
tujuan utama dari penyatuan ini tentu saja untuk menjaga keaslian tek al-Qur’an
itu sendiri. Dan untuk penyatuan ini juga melalui mufakat para sahabat tanpa
pemaksaan.
Dari sini dapat kita lihat bahwa kerangka
yang digunakan orientalis untuk meragukan umat muslim terhadap keotentikan
al-Qur’an jelas terpatahkan.karena, mereka mengkaji al-Qur’an melalui
pendekatan yang mereka ketahui saja dan tidak langsung merujuk pada
al-Qur’annya langsung.
Tidak ada komentar untuk "Tafsir Orientalis Terhadap Otentitas Al-Qur’an"
Posting Komentar