Kesetaraan Gender; Harusnya Perempuan Tetap Menjadi Perempuan

 

Doc: internet

Perdebatan tentang kesetaraan gender sampai saat ini masih menggaung tanpa memperoleh titik terang. Titik terang yang penulis maksud bukanlah kesempatan kerja, pendidikan atau apapun dalam konteks kualifikasi otak. Melainka, titik terang apakah seperti itu seharusnya perempuan mendiskusikan gender?, apakah memang seperti itu seharusny perempuan menyeruakan hak-haknya?. Karena, dari setiap kajian yang dilakakukan yang didapatkan hanya fakta bahwa sebenarnya bukan kesetaraan yang tercermin dari alur yang dijadikan patokan, melainkan sikap ingin mengatakan superioritas wanita dari pada pria. Bagaimana penulis dapat mengatakan seperi ini?,

Kesetaraan gender adalah sikap menyamaratakan tanpa memandandang jenis kelamin subjeknya. Kesetaraan gender selalu dijadikan tema manis d dalam setiap diskusi organisasi khususnya forum ke-wanitaan. Seakan tak ada habisnya untuk dikaji, setiap perempuan mengutarakan setiap unek-unek yang menyarang dihati mereka tentang patriarki (dominasi pria) yang membuat mereka merasa tertekan ataupun tereliminasi dari structural masyarakat ataupun keluarga. Nah, ketika diskusi gender inilah mereka akan diberikan tips agar dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pria dengan motivasi penuh ambisi.

Perempuan merupakan pilar dari setiap kesejahteraan yang ada, rahim perempuanlah yang dapat melahirkan generasi terbaik, perempuan adalah guru pertama para tokoh dunia, perempuan adalah makhluk istimewa bla-bla-bla dan masih banyak lagi bualan manis yang di lontarkan pemantik ataupun pemateri hanya untuk menyenangkan audiennya. Hal serupa yang sering dielu-elukan setiap aktivis gender untuk membuka setiap seminar ataupun tulisan ambisiusnnya. Dengan memberikan landasan kata perempuan dijadikan sebagai nama surat dalam al-Qur’an yaitu surah ke 4 (النساء), serta disebutkan 3 kali lebih utama untuk dihormati daripada pria. Setiap pembela gender pasti menjadikan ini sebagai landasan yang seakan ingin mengatakan bahwa perempuan lebih nilainya dari pada pria. Seakan mereka lupa apa yang seharusnya mereka suarakan tentang kesetaraan itu sendiri. Para perempuan melenakan dirinya dengan slogan-slogan halusinasi yang mereka ciptakan sendiri untuk membusungkan diri dan memperlihatkan eksistensinya pada dunia.

Tidak salah sebenarnya perempuan melakukan hal demikian, namun lihat koridor yang mesti ia jalankan jangan sampai terbutakan ambisi sehingga agresif dalam tindakan yang ceroboh. Perempuan merupakan pilar kesejahteraan, tapi mengapa Negara yang memiliki kuantitas perempuan lebih tinggi ketimbang pria malah menjadi Negara miskin? Contohnya saja Negara kita sendi Indonesia apa kabar gerangan?, seharusnya jika memang pilarny dapatlsh membawa negaranya makmur dan maju, bukankah begitu?. “Rahim wanita yang melahirkan generasi terbaik, tentusaja karena yang diberikan legalitas hamil sampai melahirkan adalah wanita bukan pria (ini sudah masuk ranah kodrat bukan hal yang harus diperdebatkan palagi dibanggakan), lagipula tanpa pria yang membuahi dapatkah wanita hami? Tentu tidak buka?. Wanita makhluk istimewa, jika memang benar seperti itu mengapa harus sibuk mencari pengakuan yang terlihat meminta pembenaran? jika memang istimewa seharusnya sudah terakui. Semua hal tadi merupakan bualan tak berguna yang terus dikonsumsikan untuk memberi efek superioritas tanpa mengukir kualitas. Bahkan kendatipun banyak dalil yang mengatakan istimewanya wanita, kita tidak dapat memalingkan diri dari dalil bahwa penghuni neraka terbanyak adalah kaum perempuan, perempuan diberi lebih banyak nafsu dari pada pria yang dapat menjerumuskannya dalam kehancuran.

Dari ini penulis menyimpulkan semua kata-kata dari para aktivis gender diatas hanya sebagi penetralisir perlu dikasihaninya makhluk yang bernama perempuan. Karena ini, seharusnya yang diberikan para penggerak gender, dan perempuan sendiri tentunya adalah cara meningkatkan SDM perempuan, yang diperlukan kualitas bukan kuantitas apalagi hanya perasaan superior. Yang terkandung dalam persetaraan bukanlah hal yang bersifat maskulinitas (kodrat) melaikan hal duniawi. Bagaimana mengupayakan agar perempuan dapat dilihat terampilannya didunia kerja tanpa mengesampingkan kondrat ke-perempuannya. Karena banyak sample lapangan ketika perempuan berkarir didunia kerja mereka malah melupakan tanggung jawabnyaa sebagai seorang perempuan.

Kewajiban perempuan ketika telah menjadi seorang istri adalah taat pada suami (dalam hal kebaikan) serta mengontrol pertumbuh kembangan anaknya namun, karena menganggap peresetaraan gender banyak dari mereka tidak peduli terhadap suami mereka apalagi jika dalam kasus pekerjaan istri lebih baik daripada suami, gaji istri lebih tinggi ketimbang gaji suami para perempuan (istri) malah sering terlampau batas menganggap dirinya lebih kompeten daripada sang suami bahkan ada yang menggap tak butuh terhadap suaminya, serta ketika menjadi seorang ibu mereka cenderung mengabaikan pertumbuhan anaknya yang seharusnya selalu dikontrol sehingga sering kita dapati anak yang tak peduli terhadap orang tuanya khususnya ibunya sendiri. Disinilah yang harus diadakan reaktualisasi agar wanita tetap dalam kondrat dan dapat disetarakan gendernya.


Oleh: Ulfa Masrufa (Mahasiswa Semester 6 Program Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam)


Tidak ada komentar untuk "Kesetaraan Gender; Harusnya Perempuan Tetap Menjadi Perempuan "