HADIS ṢAḤĪḤ DALAM PANDANGAN AL-ḤĀKIM AL-NĪSĀBŪRĪ DAN IBN AL-ṢALĀḤ AL-SHAHRAZAWRĪ


Berbeda dengan al-Qur’an yang semuanya dapat dijamin keasliannya (qaṭ‘i al-thubūt) karena mendapat garansi langsung dari Allah SWT, hadis Nabi ada yang bisa dipastikan keasliannya datang dari Nabi, yaitu hadis mutawātir. Dan ada yang belum bisa dipastikan keasliannya, yaitu hadis aḥad. Hadis aḥad oleh ulama hadis dibagi menjadi tiga: mashhūr, ‘azīz dan gharīb. Ketiga pembagian tersebut masih berpotensi ṣaḥīḥ, ḥasan atau ḍa‘īf.

Pada masa awal, hadis hanya terbagi menjadi dua, yaitu hadis ṣaḥīḥ dan hadis ḍa‘īf sampai masa Imam Abū ‘Īsā al-Tirmidhī (w. 279 H.). beliau merupakan ulama hadis yang mencetuskan hadis ḥasan. Di dalam kitab “Jāmi‘ al-Tirmdhī”, beliau banyak memberikan keterangan seputar kualitas hadis. Biasanya dengan kata هذا حديث حسن صحيح dan lain-lain.

Setelah masa beliau, ulama hadis banyak sekali bermunculan, mulai dari al-Dāruquṭnī, Ibn Khuzaymah, Imam al-Bayhaqī, Ibn Ḥibbān, al-Ḥākim al-Nīsābūrī, Ibn Ṣalāḥ, Imam al-Nawawī, Ibn Ḥajar al-‘Asqlānī, al-Dhahabī, Imam al-Suyūṭī dan masih banyak lagi.
Para ulama ini memiliki pemikiran yang kadang mirip satu dengan lain. Dan adakalanya pemikiran mereka berbeda dengan yang lain. Jika kita mengkaji salah satu cabang ilmu hadis, yaitu ilmu jarḥ wa ta‘dīl, maka kita akan disuguhkan pembagian ulama hadis menjadi tiga hierarki dalam menilai perawi. Pembagian yang dimaksud ialah mutasāhil (gampang/ tidak ketat) dalam penilaian terhadap periwayat, muatawassiṭ (sedang-sedang), dan yang terakhir yaitu mustashaddid (ketat) dalam menilai perawi.

Di antara pembahasan vital dalam ilmu hadis ialah hadis ṣaḥīḥ. Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan pandangan ulama abad ke-5, al-Ḥākim al-Nīsābūrī dan ulama hadis abad ke-7, Ibn Ṣalāḥ mengenai hadis ṣaḥīḥ. Seperti apakah pandangan kedua tokoh tersebut mengenai hadis ṣaḥīḥ?
al-Ḥākim al-Nīsābūrī dalam kitab “Ma‘rifah ‘Ulūm al-Ḥadīth” membagi hadis menjadi dua, yaitu ṣaḥīḥ dan saqīm (sakit). Dia tidak menggunakan kata ḍa‘īf sebagaimana ulama lain. Namun maksud dari istilah saqīm tetap sama seperti hadis ḍa‘īf. Menurut ulama hadis abad ke-9, Ibn Ḥajar al-‘Asqlānī, al-Ḥākim tidak membedakan antara hadis ṣaḥīḥ dan hadis ḥasan. Kata ṣaḥīḥ juga beliau gunakan terhadap hadis ḥasan. Dengan ungkapan lain, hadis ṣaḥīḥ menurut al-Ḥākim mencakup hadis ḥasan menurut ulama lain. Jadi apabila al-Ḥākim menyatakan ṣaḥīḥ terhadap suatu hadis, boleh jadi hadis itu tergolong hadis ḥasan menurut ulama lain.
Ulama lain yang dimaksud semisal Ibn Ṣalāḥ al-Shahrazawrī. Tidak seperti al-Ḥākim, Ibn Ṣalāḥ membedakan antara hadis ṣaḥīḥ dan hadis ḥasan. Dalam kitab “Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ” beliau membagi hadis menjadi tiga: ṣaḥīḥ, ḥasan dan ḍa‘īf. Kekuatan hadis ḥasan masih berada di bawah hadis ṣaḥīḥ, lantaran ke-ḍābiṭ-an perawi hadis ḥasan masih di bawah perawi hadis ṣaḥīḥ.

Dari dua paragraf di atas, dapat dikonklusikan bahwa hadis ṣaḥīḥ dalam pandangan al-Ḥākim al-Nīsābūrī lebih luas cakupannya dibanding pandangan dari Ibn Ṣalāḥ. al-Ḥākim memasukkan hadis ḥasan ke dalam istilah hadis ṣaḥīḥ, sedangkan Ibn Ṣalāḥ membedakan keduanya.
Di samping itu, jika ditelusuri kembali ke belakang, apa yang dilakukan oleh al-Ḥākim merupakan versi terbalik dari ulama hadis sebelum Imam Abū ‘Īsā al-Tirmidhī, sebelum dimunculkannya hadis ḥasan. Merujuk pada keterangan Sayyid al-Mālikī dalam “al-Manhal al-Laṭīf Fī Aḥkām al-Ḥadīth al-Ḍa‘īf”, ulama mutaqadimīn semisal Imam Aḥmad ibn Ḥanbal memutlakkan hadis ḍa‘īf sebagai lawan dari hadis ṣaḥīḥ sehingga hadis ḥasan masuk dalam terminologi hadis ḍa‘īf. Maka dari itu, jika hadis ḥasan oleh al-Ḥākim dimasukkan ke dalam hadis ṣaḥīḥ, maka kebalikannya, ulama sebelum Imam al-Tirmidhī memasukkannya ke dalam istilah ḍa‘īf. Jadi, jika ulama hadis sebelum Imam al-Tirmidhī mengatakan hadis ḍa‘īf, boleh jadi hadis itu masuk hadis ḥasan menurut Imam al-Tirmidhī dan ulama setelah beliau.
Namun demikian, jika kedua kaidah ulama ini dibandingkan dalam hal kriteria hadis ṣaḥīḥ, maka pembaca akan menemukan kesamaan antara keduanya. kriteria hadis ṣaḥīḥ itu antara lain: perawi ‘ādil dan ḍābiṭ, bersambungnya sanad (ittiṣāl al-sanad), tidak shādh dan tidak ada ‘illah dalam sanad maupun matan. Hanya saja, al-Ḥākim tidak menggunakan terminologi ḍābiṭ sebagaimana Ibn Ṣalāḥ. al-Ḥākim menggunakan terma ma‘rūf yang pengertiannya sama dengan ḍābiṭ menurut Ibn Ṣalāḥ.

Selain perbedaan istilah itu, al-Ḥākim menyaratkan setiap perawi menyampaikan hadisnya kepada dua orang perawi di bawahnya mulai dari ṭabaqah sahabat sampai akhir sanad. Dengan ungkapan lain, sahabat harus memiliki dua orang murid dari kalangan tābi‘īn, tābi‘īn ini memiliki dua orang murid tābi‘ tābi‘īn dan seterusnya sampai akhir sanad. Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang murid saja, dianggap shādh oleh al-Ḥākim. Dengan kata lain, Sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang hanya memilki satu orang murid yang meriwayatkan dianggap shādh oleh al-Ḥākim.

Pandangan ini berbeda dengan Ibn Ṣalāḥ. Menurutnya hadis yang shādh adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang thiqah (‘ādil tambah ḍābiṭ), dan periwayatan ini menyelisihi prawi lain yang lebih thiqah lagi. Jika ada sanad yang hanya ada satu jalur periwayatan, itu bukan termasuk shādh menurut Ibn Ṣalāḥ. 

Terlepas dari perbedaan di atas, kedua ulama yang berbeda masa ini sama dalam hal kriteria hadis ṣaḥīḥ, hanya saja perbedaan kian terjadi dalam hal ada atau tidaknya sifat-sifat hadis ṣaḥīḥ yang telah disebutkan, yaitu: perawi ‘ādil dan ḍābiṭ, bersambungnya sanad (ittiṣāl al-sanad), tidak shādh dan tidak ada ‘illah dalam sanad maupun matan. Itulah lima kriteria hadis ṣaḥīḥ yang disepakati ulama hadis.


Tidak ada komentar untuk "HADIS ṢAḤĪḤ DALAM PANDANGAN AL-ḤĀKIM AL-NĪSĀBŪRĪ DAN IBN AL-ṢALĀḤ AL-SHAHRAZAWRĪ"