TERMINOLOGI ḌA’ĪF DALAM ILMU HADIS DIRĀYAH

 


Ilmu hadis dirāyah merupakan satu di antara dua bagian ilmu hadis di samping ilmu hadis riwāyah. Ilmu hadis dirāyah secara definitif menurut Ibn Jamā‘ah adalah aturan-aturan/ undang-undang yang bisa digunakan untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan. Ilmu dirāyah juga disebut dengan Ilmu Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth, Uṣūl al-Ḥadīth, ‘Ulūm al-Ḥadīth, dan ‘Ilm al-Ḥadīth.

Sedangkan ilmu hadis riwāyah menurut Nūr al-Dīn ‘Itr adalah ilmu yang mencakup perkataan Nabi, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat, periwayatan, dan uraian lafal-lafal perkataan itu. Objek kajian ilmu riwāyah ialah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi. 

Perbedaan antara dua cabang ilmu hadis itu menurut Nūr al-Dīn seperti perbedaan ilmu nahwu dan i’rab, dan perdedaan fikih dengan usul fikih. Ilmu hadis dirāyah menjadi jembatan untuk mengetahui mana hadis yang diterima dan mana yang ditolak dengan mencanangkan kaidah umum, sedangkan ilmu hadis riwāyah membahas hadis yang sedang menjadi objek. Ilmu riwāyah menjelaskan bagaimana mempraktekkan kaidah-kaidah dalam ilmu dirāyah bahwa yang seperti ini diterima dan yang seperti ini ditolak.

Salah satu pembahasan penting dalam Ilmu Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth atau ilmu dirāyah ialah hadis ḍa‘īf. Dalam tulisan ini, hadis ḍa‘īf menjadi objek studi yang meliputi pengertian, sebab ke-ḍa‘īf-an suatu hadis, hadis ḍa‘īf yang bisa naik menjadi hadis ḥasan li ghayrih, dan yang terakhir yaitu hadis ḍa‘īf yang bisa diamalkan. Penjabaran lebih detail bisa dibaca di paragraf-paragraf berikut.

Pengertian hadis ḍa‘īf

Untuk memberikan gambaran mengenai hadis ḍa‘īf, penulis akan menguraikan definisinya dari dua tokoh yang berbeda masa, satu ulama klasik dan yang satu lagi ulama kontemporer. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi dengan singkat apakah ada perubahan makna dari zaman ulama klasik ke zaman kontemporer atau tidak. Hasilnya ternyata perubahannya hanya pada pemilihan kata (diksi) yang digunakan, untuk maksudnya sama.

Menurut Ibn al-Ṣalāḥ (w. 643 H.) hadis ḍa‘īf adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis ṣaḥīḥ dan hadis ḥasan. Kriteria hadis ṣaḥīḥ antara lain: perawi ‘ādil dan ḍābiṭ, bersambungnya sanad (ittiṣāl al-sanad), tidak shādh (anomali) dan tidak ada ‘illah (cacat) dalam sanad maupun matan. Adapun kriteria hadis ḥasan sama dengan hadis ṣaḥīḥ, hanya saja perawi hadis ḥasan masih di bawah perawi hadis ṣaḥīḥ dalam hal ke-ḍābiṭ-an.

Untuk sarjana kontemporer, pendefinian hadis ḍa‘īf agaknya tidak berbeda dengan ulam klasik. Menurut Muḥammmad ‘Ajjāj al-Khaṭīb, hadis ḍa‘īf adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria diterimanya suatu hadis. Sedangkan menurut Nūr Dīn ‘Itr, sebagaimana ditulisnya dalam Manhaj al-Naqd Fī ‘Ulūm al-Ḥadīth, hadis ḍa‘īf adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis maqbūl. Sifat dan syarat hadis maqbūl (diterima) sama dengan hadis hadis ṣaḥīḥ. Jadi pengertian hadis ḍa‘īf sama esensinya menurut ulama klasik maupun ulama kontemporer, hanya berbeda redaksi saja.

Sebab ke-ḍa‘īf-an hadis

Bagian berikutnya yaitu sebab ke-ḍa‘īf-an hadis. Maḥmūd al-Ṭaḥḥān dalam Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth membagi sebab kecacatan hadis menjdi dua secara garis besar, yaitu putus atau gugurnya sanad dan yang kedua yaitu cacat pada perawi. 

Jika suatu hadis putus di bagian awal sanad (langsung setelah mukharrij), maka dinamakan hadis mu‘allaq; jika putus dua orang perawi secara berurutan, maka termasuk hadis mu‘ḍal; jika putus pada ṭabaqah sahabat, maka disebut hadis mursal; apabila ṣīghat taḥammul wa al-adā’ hadis menggunakan lafal عن, maka disebut hadis mu‘an‘an; jika ṣīghat taḥammul wa al-adā’ hadis menggunakan lafal أنّ, maka hadis itu tergolong hadis mu’annan; semua hadis tersebut juga bisa diistilahkan dengan hadis munqaṭi‘. Hadis munqaṭi‘ merupakan hadis yang sanadnya putus di bagian mana pun.

Sebab kedua yaitu cacat pada perawi. Jika cacat itu berupa tuduhan berdusta karena biasa berdusta dalam perkataannya sehari-hari, maka dinamakan hadis matrūk; apabila sebab ke-ḍa‘īf-an yang berupa sisipan perkataan yang bukan bagian dari hadis, maka disebut hadis mudrāj; jika sebab lemahnya hadis karena perawinya banyak salah, sering lupa atau fasik, maka dikenal dengan hadis munkar; kalau alasan ḍa‘īf-nya karena cacat yang tersembunyi, maka diistilahkan dengan hadis mu‘allal atau ma‘lūl; apabila ke-ḍa‘īf-an suatu hadis disebabkan menyelisihi perawi yang lebih thiqah, maka disebut sebagai hadis shādh.

Hadis ḍa‘īf yang bisa naik menjadi hadis ḥasan li ghayrih

Perawi yang riwayatnya bisa diterima memiliki dua syarat, yaitu ‘ādil dan ḍābiṭ. Perpaduan antara keduanya oleh Imam al-Suyūṭī dinamakan thiqah. Jadi ‘ādil tambah ḍābiṭ sama dengan thiqah.

Menurut Ibn al-Ṣalāḥ (w. 643 H.) perawi yang ‘ādil ialah orang yang beragama Islam, balig, berakal, terbebas dari perkara yang merusak marwah atau harga diri, dan tidak melakukan hal yang membuatnya fasik. Sedangkan perawi yang ḍābiṭ adalah perawi yang kuat ingatannya, tidak sering lupa, hafal jika meriwayatkan dari hafalannya, ḍābiṭ terhadap kitabnya jika menceritakan dari kitab, serta mengetahui mana yang bisa merubah makna apabila menggunakan al-riwāyah bi al-ma‘nā (periwayatan dengan makna)

Menurut Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb sebagaimana dijabarkan dalam Uṣūl al-Ḥadīth-nya, perbuatan yang yang merusak sifat ‘ādil dalam diri perawi antara lain semisal berdusta atas nama Rasulullah, berdusta dalam perkataan sehari-hari, fasik, tidak diketahuinya identitas perawi, serta melakukan perkara bid’ah yang berkonsekwensi kufur. Hadis ḍa‘īf  yang semacam ini derajatnya tidak bisa naik menjadi hadis ḥasan li ghayrihi meskipun memiliki banyak jalur lantaran sebab ḍa‘īf-nya terlalu parah.

Sedangkan perkara yang merusak ke-ḍābiṭ-an periwayat hadis antara lain: lalai (ghaflah), banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan, hafalan buruk, ikhtilāṭ (orang yang awalnya memiliki hafalan baik, namun karena sebab tertentu, hafalannya rusak). Menuurut ‘Ajjāj al-Khaṭīb, hadis yang sebab ḍa‘īf-nya semacam ini bisa naik status dengan jalur periwayatan lain. Dengan ungkapan lain, hadis-hadis semacam ini bisa ditolong oleh hadis dari jalur lain menjadi ḥasan li ghayrihi.

Selain itu, hadis ḍa‘īf yang bisa naik menjadi ḥasan li ghayrihi ialah hadis mursal dan hadis mudallas lantaran sebab ḍa‘īf-nya ini bisa hilang jika ada jalur lain yang menjadi penguat.

Jika hadis ḍa‘īf yang disebabkan tidak ‘ādil-nya pembawa beritanya tidak bisa naik derajat menjadi ḥasan li ghayrihi, sedangkan hadis ḍa‘īf lantaran rusaknya ke-ḍābiṭ-an si perawi bisa naik derajat, maka dapat dijadikan sintesis bahwa secara umum rusaknya sifat ‘ādil lebih parah dibandingkan rusaknya sifat ḍābiṭ dalam diri perawi.

Secara simplifikatif (sederhana), perawi yang ‘ādil tapi tidak ḍābiṭ seperti orang berakhlak mulia tetapi tidak pintar. Sedangkan gambaran orang yang ḍābiṭ namun tidak ‘ādil, ibarat orang pintar yang tidak punya budi pekerti baik. Seperti itu kira-kira. Tentu saja lebih parah orang yang ḍābiṭ namun tidak ‘ādil. Dan yang paling parah ialah orang tidak ḍābiṭ dan tidak ‘ādil. Maka orang semacam ini seperti orang bodoh yang tidak berakhlak!

Sifat ẓanni dalam ke-ḍa‘īf-an hadis

Tidak semua hadis yang sudah dinyatakan ḍa‘īf bisa diamalkan. Bahkan hukum asal dari hadis ḍa‘īf adalah tidak diamalkan. Hemat penulis, hal itu disebabkan oleh banyak faktor. Antara lain, kemungkinan hadis ḍa‘īf benar-benar berasal dari Nabi tergolong kecil, berbeda dengan hadis ḥasan dan hadis ṣaḥīḥ yang diduga kuat (al-ẓann al-rājiḥ) berasal dari Nabi. Jadi hadis ḍa‘īf bukan berarti seratus persen tidak berasal dari Nabi, berbeda dengan hadis mawḍū‘ (palsu) yang memang bisa dipastikan bukan datang dari Nabi.

Kebalikan dari hadis mawḍū‘ (palsu), yang bisa yakin seratus persen datang dari beliau hanya hadis mutawātir yang jumlahnya tidak banyak dan kalah jauh dibanding hadis aḥad. Hadis ḥasan dan hadis ṣaḥīḥ yang statusnya aḥad dinyatakan berasal dari Rasulullah berdasarkan dugaan kuat saja (al-ẓann al-rājiḥ), tidak sampai yakin seratus persen sehingga tidak ada celah sedikit pun untuk mengkritisi ke-ṣaḥīḥ-an dan ke-ḥasan-an hadis yang sifatnya ijtihādi itu. 

Maka tidak heran jika ada sebagian sarjana hadis yang men-ḍa‘īf-kan sebagian hadis dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim, semisal Muḥammad al-Ghazālī dan Nāṣir al-Dīn al-Albānī. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, Josep Scath dengan teori Projecting Back miliknya menyatakan bahwa tidak ada hadis hukum yang benar-benar berasal dari Nabi. Dengan kata lain, menurut Scath, hadis-hadis hukum yang dipercaya orang Islam itu semuanya dibuat-buat oleh ulama fikih dan ulama hadis pada masa itu.

Hadis ḍa‘īf yang bisa diamalkan

Muḥammmad ‘Ajjāj al-Khaṭīb menyebutkan bahwa dalam hal pengamalan hadis ḍa‘īf, ulama hadis berbeda pandangan. Pertama, hadis ḍa‘īf tidak bisa diamalkan sama sekali, baik dalam hukum atau faḍā’il al-amal pandangan ini datang dari Ibn Sayyid al-Nās, Yaḥyā ibn Ma‘īn, Abū Bakar al-‘Arabī, Ibn Ḥazm, serta Imam al-Bukhārī dan Imam Muslim berdasarkan pendepat yang kuat. Di Indonesia sendiiri ada lembaga yang sangat menolak kehujjahan hadis ḍa‘īf, yaitu Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)

Kedua, hadis ḍa‘īf dapat diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Aḥmad dan Abū Dāwud. Kedua ulama ini menganggap bahwa hadis ḍa‘īf lebih utama dari pada pendapat orang. Namun demikian, menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, maksud ḍa‘īf Imam Aḥmad ini bukanlah hadis munkar atau pun hadis matrūk. Maksud Imam Aḥmad ialah hadis ḥasan, sebab beliau membagi hadis hanya dua, yaitu ḥasan dan ṣaḥīḥ. Apa yang dikatakan ḍa‘īf perspektif beliau termasuk hadis ḥasan, bukan ḍa‘īf menurut ulama mutaakhkhirīn.

Ketiga, hadis ḍa‘īf bisa diamalkan bisa diamalkan dalam faḍā’il al-amal dan nasihat-nasihat. Menurut Hasbi as-Shiddiqie, faḍā’il al-amal bukan berarti amalah sunnah, akan tetapi berkenaan dengan keutamaan, faidah dan kegunaan amal. Ibn Ḥajar al-‘Asqlānī menyebutkan bahwa syarat pengamalannya meliputi tiga hal. (1) lemahnya hadis tidak parah. Dalam Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah, Yūsuf al-Qarḍāwī menguraikan bahwa hadis ḍa‘īf yang bisa diamalkan hanya hadis ḍa‘īf yang disebabkan rusaknya ke-ḍābiṭ-an, bukan pada ke-‘ādil-an perawi.(2) termasuk dalam dalil umum yang sudah diamalkan (3) tidak meyakini tetapnya hadis ḍa‘īf, akan tetapi berhati-hati.

Dari ketiga mazhab ini, yang paling aman adalah yang pertama, ulama yang mengatakan bahwa hadis ḍa‘īf tidak bisa diamalkan baik itu berkaitan dengan hukum atau non hukum. Dan yang terakhir, sebetulnya pembahasan ini masih jauh dari kata selesai. Tulisan ini lebih sebagai pengantar sebelum melangkah pada kitab-kitab monumental setingkat karya Ibn al-Ṣalāḥ, Imam al-Nawawī, Ibn Jamā‘ah, dan ulama-ulama lain. Harapan penulis, pembaca melanjutkan pengembaraan bacaan lebih jauh untuk mengetahui lebih rinci mengenai hadis ḍa‘īf.

Tidak ada komentar untuk "TERMINOLOGI ḌA’ĪF DALAM ILMU HADIS DIRĀYAH"