PESAN DAMAI DI BALIK AYAT PERANG

                     Doc: Google Image


Rule model agama Islam adalah al-Qur’an dan Nabi Muḥammad. Saat Sayyidah ‘Ā’ishah ditanya tentang akhlak baginda Nabi, beliau menjabarkan bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an itu sendiri. Saat ini tidak ada cara lain untuk mengetahui tindak tanduk Nabi kecuali dengan mempelajari al-Qur’an dan hadis.

Dalam kaitannya dengan hubungan sosial kemasyrakatan, Islam dengan al-Qur’an menyeru untuk mewujudkan kedamaian. Namun demikian, kandungan ayat suci tidak hanya berbicara seputar perdamaian. Lebih dari itu terdapat ayat yang menjelaskan ‘kekerasan yang dibenarkan’. Namun ayat yang semacam ini tergolong sedikit dibanding ayat-ayat tentang perdamaian.

Hemat Pak Sahiron Samsuddin, ayat-ayat seputar pedang yang pemehaman literalnya berbenturan dengan moral termasuk ayat mutashābihāt, sedangkan ayat yang pemahaman langsungnya tidak bertentangan atau sejalan dengan moral, termasuk ayat muḥkamāt. Menurut beliau, ayat-ayat yang bersifat mutashābihāt harus dipahami di bawah bayang-bayang ayat muḥkamāt. Dari sini beliau berpandangan bahwa ayat-ayat seputar perang termasuk ayat mutashābihāt, dan ayat-ayat perdamaian tergolong ayat muḥkamāt.

Menurut Pak Sahiron, definisi ayat mutashābihāt adalah ayat yang makna langsungnya berkaitan dengan ide dan pesan moral. Sebaliknya ayat mutashābihāt adalah ayat  yang tampaknya bertentangan dengan ide moral. Sebetulnya ada banyak pandangan dari ulama seputar ayat mutashābihāt dan muḥkamāt ini. Dalam al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī (w. 911 H.) menyebutkan sekitar tujuh belas pandangan ulama. Namun dalam tulisan ini, definisi yang dipakai ialah definisi yang telah dijabarkan di atas.

Ayat perang yang diturunkan pertama kali termaktub dalam surah ke-22 al-Ḥajj ayat ke-39-40. Allah berfirman:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Allah”. Sekiranya Dia tidak mencegah (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti akan menolong orang yang menolong agamanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.


Selain ayat perang pertama ini, ada beberapa ayat lain. Redaksi dari ayat lain ini bahkan lebih tegas dibandingkan ayat pembolehan dengan menggunakan kata perintah. Seperti yang tertulis dalam surah ke-2 al-Baqarah ayat 190 dengan diksi “qātilū”, yang artinya ‘berperanglah!.’Di samping itu, kata ini tertulis juga dalam surah ke-3, ayat ke-167, surah ke-4 ayat ke-76. Selain itu, dalam surah ke-9 ayat ke-38 terdapat ayat yang menyeru untuk berperang dengan pilihan kata “infirū”, ‘berangkatlah untuk berperang’. Namun demikian, bagi Pak Sahiron, ayat-ayat yang berisi perintah harus dipahami di bawah bayang-bayang ayat pembolehan, sebab ayat perintah perang turun belakangan setelah ayat pembolehan. Pesan utama ayat pembolehan harus selalu diingat ketika pengaplikasian ayat yang bersifat intruktif tadi, bukan sebaliknya. Jadi, ayat-ayat yang berisi intruksi untuk berperang hendaknya diaplikasikan berdasarkan tujuan dari ayat pembolehan, ayat perang yang pertama turun.

Untuk memahami ayat ini, Pak Sahiron menelusuri konteks histori ayat. Menurutnya ayat ini diturunkan di Madinah. Sebelum itu, Nabi diusir oleh kaum musyrik Mekkah. Ayat pembolehan perang ini baru turun setelah ada tujuh puluh ayat yang melarang hal itu. Mengutip dari penjelasan Imam al-Ṭabarī, beliau menjelaskan bahwa Nabi diizinkan berperang setelah sepuluh tahun beliau diintimidasi dan memaafkan perlakuan kaum kafir Mekkah. Dan yang perlu diperhatikan ialah, ayat ini menggunakan redaksi udhina yang bermakna perang dibolehkan, akan tetapi bukan berarti harus berperang. Jika ada cara damai, maka cara damai itu hendaknya yang ditempuh. Ayat ini menggambarkan kondisi di mana para sahabat Nabi diintimidasi oleh kafir Mekkah yang menjadi sebab kenapa mereka diberi izin berperang. Mereka dizalimi dalam harta, jiwa, dan HAM.

Selain itu, ayat tersebut menggambarkan bahwa pada saat itu, tidak ada kebebasan beragama. Orang-orang Islam diusir dari tanah kelahiran mereka hanya karena meraka bertauhid kepada Allah. Di sisi lain, kaum kafiir Mekkah memaksa para sahabat untuk mengikuti keyakinan syirik yang mereka anut. Jadi pada saat itu sama sekali tidak ada kebebasan beragama. Di dalam Islam sendiri, tidak ada paksaan dalam menganut agama. Dalam artian sesorang tidak boleh dan tidak perlu dipaksa  memeluk Islam, toh agama ini sudah jelas. Qad tabayyyana al-rushdu min al-ghayyi.

Allah berfirman. “Sekiranya Allah tidak mencegah (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah.” Dari ayat ini, nampak semakin jelas bahwa pada saat itu sama sekali tidak ada kebebasan beragama. Seandinya Allah membiarkan mereka berbuat sesuka hati, niscaya tempat ibadah agama lain, mulai dari Yahudi, Nasrani, dan Islam akan direbut. Contohnya saja, Bilāl ibn Rabāḥ yang dipaksa keluar dari agama Islam oleh tuannya tatkala ia tahu bahwa Bilāl telah memeluk Islam. Kondisi demikian juga menjadi ‘salah satu’ sebab dibolehkannya perang. Dan tidak hanya Bilāl, banyak sahabat yang dipaksa untuk keluar dari agama Islam.

Bagi Pak Sahiron, pesan utama ayat ini bukanlah berperangnya. Perang hanyalah sebuah alat untuk mewujudkan kedamaian. Jika cara lain bisa ditempuh, maka cara itu hendaknya yang dilakukan. Perang adalah alat untuk mencapai kedamaian, tetapi bukan satu-satunya alat. Ada berbagai cara selain perang yang bisa ditempuh untuk mewujudkan perdamaian ini. Menurut Syekh Muḥamad ‘Alī al-Ṣābūnī, salah satu hikmah Nabi berpoligami adalam hikmah politik (siyāsiyah) Contohnya ketika Nabi menikah dengan Siti Juwayriyah bint al-Ḥārith, wanita terhormat dari kalangan Bani Muṣṭaliq. Setelah Nabi menikah dengannya, orang Islam membebaskan tawanan-tawanan meraka karena bagaimana mungkin “ipar-ipar” Nabi ditawan para sahabat. Kemudian melihat sikap orang Islam yang demikian, Bani Muṣṭaliq memeluk Islam dengan suka rela. Di samping itu, kasus yang serupa juga terjadi ketika Nabi menikah dengan Siti Ṣafiyyah bint Ḥuyay ibn Abī Akhṭab. Setelah dia resmi masuk Islam dan menjadi istri baginda Nabi, ada sebagian orang yang muallaf. 

Karena bagaimana perang tidak dibolehkan jika kondisinya seperti yang digambarkan di atas. Orang Islam ditindas, disiksa, bahkan sampai dibunuh agar mereka keluar dari Islam. Mereka  sama sekali tidak diberi kebebasan dalam memeluk agama yang mereka yakini. Hari-hari dijalani dengan penindasan, perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan hal-hal lain.

Pesan utama ayat tersebut yaitu pertama penghapusan penindasan. Dalam ayat ini bagi Pak Sahiron lebih  bermakna bahwa Allah membenci penindasan, penyiksaan dan yang senada dengannya. Jika ada orang yang disiksa, dia berhak mempertahnkan dirinya meskipun harus ditempuh dengan kekerasan. Namun sekali lagi kekerasan bukan satu-satunya solusi. Ini bisa digunakan jika tidak ada solusi lain.

Kedua, kebebasan beragama. Pesan berikutnya yang dikandung ayat ini adalah penegakan kebebasan beragama. Kaum muslim dibolehkan berperang untuk mewujudkan hal ini dalam kehidupan mereka. Namun jalan yang ditempuh untuk merealisasikan ini tidak harus dengan perang. Saat Nabi pergi ke Mekkah melaksanakan haji, beliau dicegat oleh orang kafir Mekkah. Lalu apakah beliau langsung memerangi mereka pada tahun ke-6 H. itu? Sejarah mencatat bahwa Nabi tidak memerangi mereka, akan tetapi beliau melakukan diplomasi kepada mereka yang menghasilkan Perjanjian Hudaybiyah.  Keputusannya orang Islam baru boleh menunaikan haji tahun berikutnya, tahun ke-7 H.

Ketiga, yaitu penegakan perdamaian. Sebagaimana disebutkan di awal, Islam mengkampanyekan perdamaian. Menurut Pak Sahiron, peperangan merupakan alat untuk merealisasikan perdamaian. Tetapi bukan satu-satunya alat. Perang bisa diperbolehkan jika tidak ada cara lain selain cara itu. Sejarah Nabi membuktikan bahwa beliau bisa hidup harmoni dengan penduduk Madinah yang bergama Yahudi. Initinya yang hendaknya diambil dari ayat ini adalah pesan perdamaiannya, bukan semata-mata bolehnya berperang. Membunuh orang kafir bukanlah tujuan, seandainya itu tujuan, maka perempuan kafir, anak-anak kafir, orang tua renta yang kafir juga akan dibunuh. Tetapi nyatanya tidak demikian. Orang-orang Islam juga tidak diperbolehkan memutilasi dalam perang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuannya bukan semata-mata membunuh.

Usāmah ibn Zayd pernah berduel dengan seorang kafir. Setelah si kafir terpojok, ia mengaku bahwa dia muslim. Namun Usāmah masih tetap membunuhnya lantaran baginya, si kafir tadi hanya bermaksud untuk berlindung, bukan benar-benar muslim. Cerita ini kemudian sampai kepada Rasulullah. Beliau menanggapi berat perkara ini dan menyalahkan Usāmah. Bahkan beliau mengecam, “Apakah jika kamu membelah hatinya, kamu akan tahu isi yang sebenarmya?” Jadi memang membunuh kafir bukan tujuan.

Alat boleh berubah-ubah dan heterogen, sedangkan tujuannnya sama. Tujuan dari sikat gigi adalah membersihkan mulut. Dulu orang-orang menggunakan kayu Arak untuk membersihkan mulut. Sedangkan sekarang ada alat lain untuk membersihkan mulut semisal pasta dan sikat gigi atau menggunakan alat lain semisal Listrine. Membersihkan mulut tidak harus dengan kayu siwak, itu cuma alat. Alat lain pun bisa digunakan untuk membersihkannya. Sama seperti perang ini yang statusnya adalah alat, bukan tujuan.

Selain itu, jihad tidaklah sama dengan berperang. Jika Allah menyeru untuk berjihad, itu bukan berarti seruan berperang. Jihad lebih umum dari pada perang sehingga jihad belum tentu perang. Makna jihad bagi Hārūn ibn Mūsā berkutat pada tiga pemaknaan. Pertama jihad dengan perkataan. Semisal ayat yang mengintruksi agar Nabi mengajarkan al-Qur’an. Allah menyerukan

وجَاهدهمْ جهادا كبيرا.

Berjihadlah dengan jihad yang besar (mengajarkan al-Qur’an).

Kedua, berperang dengan senjata. Umpamanya surah al-Nisā’ ayat ke-95 berikut:

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95(

Ketiga, jihad dalam artian beramal. Makna ini bisa ditemukan dalam ayat:

ومن جاهد فإنّما يجاهد لنفسه

Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, jika kondisi yang dialami para sahabat itu kembali terulang di masa-masa mendatang, maka perang mungkin saja dilegalkan. Jika orang-orang Islam sudah ditindas, diintimidasi, dipukul, dibunuh, dan dipaksa murtad keluar dari agama Islam, maka mungkin perang bisa dibolehkan, apabila tidak ditemukan solusi lain, solusi yang lebih soft. Jihad saat ini bukanlah berperang dengan senjata, tetapi memerangi hawa nafsu dan hidup di jalan Allah SWT. Jamāl al-Bannā berkata, 

ليسَ الجهادُ في الْعَصْرِ الحَاضِر بِأَنْ نَمُوتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَلكِنَّ الجهادَ فيْنَا بِأَنْ نَحْيَى فِي سبيلِ اللهِ.

Di saman sekarang, jihad bukan berarti mati di jalan Allah, akan tetapi jihad sekarang bermakna hidup di jalan Allah.

Disadur dari buku Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an tulisan Prof. Dr. Phill. Sahiron Samsuddin, M.A

Tidak ada komentar untuk " PESAN DAMAI DI BALIK AYAT PERANG"