"Gender Dalam Al-Qur'an Perspektif Amina wadud"

  

Sumber: Google image

  Pada saat ini agama sering dituduh sebagai sumber terjadinya ketidak adilan dalam masyarakat, termasuk ketidak adilan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut dengan ketidakadilan gender. Dalam women's studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Perempuan selalu menjadi subyek, yang mana hal ini dipengaruhi oleh subyektifitas penafsiran dan interpretasi dalam ayat al-Qur’ān. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak memprestasikan diri, dilarang menjadi pemimpin dan selalu dipojokkan sebagai makhluk domistik, dan terbelakang, yang disebabkan oleh budaya patriarki dalam Islam. Kultur budaya Islam cenderung menganggap laki-laki dan wanita sebagai anggota ummat manusia yang berbeda. Berakar dari sini Amina Wadud menggagas interpretasi gender dan feminis di dalam al-Qurān. Amina Wadud berpendapat bahwa perempuan dalam Islam secara primordial, kosmologi, ekstologi, spritual dan moral dimaksudkan sebagai manusia yang sempurna dan memiliki peran dan posisi yang setara dengan kaum pria.  

  Realitas dalam Islam menunjukkan peran perempuan terbelakang dari pada laki-laki. Amina wadud merupakan tokoh feminis yang sangat memperhatikan isu-isu gender, Wadud mulai tersohor namanya ketika memimpin sholat jum’at di gereja New York pada tanggal 18 Maret 2005. Ijtihadnya ini menggoyangkan syari’at agama Islam yang mensyaratkan bahwa hanya kaum adam yang boleh menjadi imam dalam melaksanakan sholat jum’at. Adapun respon terhadap isu-isu gender Wadud berusaha membaca ulang teks al-qur’ān dalam perspektif seorang perempuan, dia ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan wanita terhadap tafsir al-qur’an yang bersinggungan langsung dengan perempuan. Wadud ingin membangkitkan peran perempuan dengan kesetaraan dalam relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Wadud juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatisme Islam. Oleh karena itu model pemikiran kritis atas pemahaman teks al-qur’ān adalah solusi agar ketimpangan yang berbasis gender tidak semakin menggejala, akibat dari otoritasi dan legitimasi pesan agama. Di dalam buku al-Qur’an Wa al-Mar’ah. Wadud berupaya menganalisis al-qur’an dengan menggunakan metode-metode yang ia gunakan hingga nantinya mampu menghasilkan kesimpulan baru mengenai tafsir. Adapun tafsir mengenai karakteristik perempuan ada tiga macam yaitu tafsir tradisional, tafsir reaktif dan tafsir holistik. Dari ketiga tafsir tersebut tafsir holistik yang digunakan oleh Wadud untuk menganalisa langsung teks al-qurān, karna tafsir holistik merupakan sebuah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik, dan termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modern maupun kontemporer. Beberapa problamatika seputar analisis Amina Wadud dalam bukunya Seputar Analisis mengenai penciptaan manusia. Diantara ayat yang berbicara tentang asal-usul kejadian manusia adalah surah al- nisa’ [4] : 01, sebagai berikut

ٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.

 Dalam permasalahan gramatikal yang berhubungan dengan gender Wadud memberikan permisalan dalam kata ( زَوجَ) menurutnya, lafad zāuj merupakan kata umum. Di dalam al-qur’ān kata zāwj diartikan sebagai suami, sesuatu yang berpasang-pasangan, maka disini lafdhu quay bukan berarti mudzakkar atau muannats karna maknanya terlepas dari keduanya, karna tidak ada pemisah secara jelas makna zāuj tersebut, Wadud berhipotesa bahwa inilah beberapa penyebab yang digunakan para penafsir seperti amasykhary untuk menukil dari taurat dalam permasalahan nafs wahidah. Begitu juga dengan kata nafs , menurut Wadud, tidak digunakan kepada selain manusia. Kata ini merupakan asal semua manusia secara umum. Kemudian, secara gramatikal, kata ini adalah feminim dan merupakan anteseden dari kata sifat atau kata kerja feminim, namun, secara konseptual, kata ini tidaklah maskulin maupun feminim, bahkan kata ini merupakan bagian esensial bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Wadud berupaya menegaskan bahwa sejak awal penciptaan mahkluk di dunia ini. Secara implisit dikatakan dalam al-qur’an bahwa seorang perempuan sepadan kedudukannya dengan laki-laki, yang secara sempurna antara keduanya berhak mendapatkan hidayah dalam ma’rifat dan keimanan. Hingga tidak ada perbedaan diantara keduanya dalam balasan padala dan dosa. Dan di dalam al-qur’ān tidak pernah dinyatakan bahwa Allah Swt. memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti adam, seorang peria. Asal usul penciptaan manusia sesungguhnya berkaitan dengan esensi manusia pria dan perempuan yang merupakan faktor penentu fundamental keberadaannya, bukan jenis klamin.

 Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan wanita ketika al-Qur’ān membahas penciptaan manusia. Amina Wadud berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang disandang oleh pria dan wanita, oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.

Oleh: Ernawati (Anggota Keilmuan HMP IQT 2023-2024)