Paradigma Tafsir Kontemporer: “Potret Dialektika Pembaharuan Dan Pemurnian Pemahaman Al-Qur’an”.

 Paradigma dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah model dalam teori ilmu pengetahuan. Sedangkan kata tafsir pada mulanya berarti penjelasan atau penampakan makna, menurut Ahmad Ibn faris ialah keterbukaan dan kejelasan. Dan juga kata kontemporer berarti pada waktu yang sama atau dicocokkan pada masa sekarang.

  Jadi dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwasanya, paradigma tafsir kontemporer adalah, kerangka berpikir atau cara pandang seseorang dalam mendekati suatu teks al-Qur’an yang mengkaji tentang kompleksitas al-Qur’an dalam rangka memahami firman Allah sesuai kadar kemampuan manusia itu sendiri yang di sesuaikan dengan zaman dan tempat di mana orang itu hidup.

   Disadari atau tidak, Globalisasi yang melanda dunia memaksa umat Islam untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Pesatnya Teknologi informasi yang berkembang akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat Islam. Pergolakan "emansipasi", "demokrasi" dan "reformasi" di bagian wilayah lain dunia ini dengan begitu mudah diakses umat Islam, dan ini sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi menyebabkan pemikiran-pemikiran keislaman lama mengalami "keterasingan" karena tidak mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan baru yang muncul akibat perubahan tersebut. Munculnya tantangan-tantangan baru ini mengharuskan dirumuskannya kembali pemikiran-pemikiran Islam agar bisa menjawab tantangan-tantangan tersebut. Masuknya gagasan feminisme dan pluralisme di kalangan umat Islam juga jelas tidak bisa dilepaskan dari perkembangan global yang melanda umat Islam.

   Seperti yang telah disinggung di awal, Tafsir kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian Tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat. Ada perbedaan prinsip dalam tafsir al-Qur’an di abad kontemporer dengan abad-abad sebelumnya. Prinsip-prinsip tersebut dibangun pada paradigma yang ada di abad ini. Paradigma itu sendiri lahir atau dirumuskan oleh para ahli karena tafsir menghadapi berbagai tantangan di atas. Beberapa ulama menyimpulkan bahwa paradigmanya sebagai berikut: pertama, tafsir kontemporer ini bersemangat mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Sebelum itu, al-Qur’an bagi mufasir kontemporer diasumsikan sebagai wahyu yang progresif, maka mereka mengembangkan suatu model pembacaan yang lebih kritis dan produktif. Ali al-Harbi menjelaskan, bahwa pembacaan kritis pada al-Qur’an adalah pembacaan atas teks al-Qur’an yang tidak terbaca, dan ingin menyingkap kembali apa yang tak terbaca itu. Selain itu penafsir klasik juga menyakini bahwa al-Qur’an tidaklah turun pada masyarakat hampa budaya, Ia lahir dalam struktur bangsa Arab abad ke tujuh. Ia juga ditulis dengan berpijak pada aturan-aturan budaya bangsa Arab selama dua puluh tahun. Maka petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang bersifat universal juga dapat dirumuskan dengan mempertimbangkan situasi-historis masa itu, untuk kemudian dirumuskan kembali sesuai dengan konteks kekinian. Kedua, berbeda dengan tafsir klasik yang berkonsentrasi pada kajian, makna kata dari segi I’rab dan penjelasan segi teknis kebahasaan yang di kandung oleh redaksi ayat, maka paradigma tafsir kontemporer lebih menitik beratkan pada kajian epistemologis dan metodologis. Penitik beratan aspek tersebut melahirkan pandangan yang mencoba mencari ada apa di balik teks al-Qur’an, karena yang diinginkan mereka hasil pembacaan yang produktif terhadap al-Qur’an bukan pembacaan yang repetitif. Mereka tidak berhenti pada pemaknaan literal dari ayat-ayat al-Qur’an, karena yang mereka cari adalah maksud dan tujuan dari makna-makna literal ayat-ayat tersebut. Ketiga, berbeda dengan tafsir klasik yang menggunakan praktek penafsir yang linieratomistik seperti diurai di atas, tafsir kontemporer memiliki paradigma yang bernuansa hermeneutik. Menurut, Roger Trigg hermeneutika merupakan suatu model penafsiran terhadap teks tradisional (klasik), dimana suatu permasalahan harus selalu diarahkan agar teks selalu dapat dipahami dalam pada konteks kekinian yang situasinnya berbeda. Nuansa hermeneutika yang menonjol pada tafsir kontemporer, membuat mereka selalu curiga pada adanya kepentingan ideologis yang ada di balik teks tersebut. Poin ini yang membuat tafsir kontemporer selamat dari sektarianisme, seperti yang pernah dialami oleh mayoritas tafsir klasik. Keempat, paradigma tafsir yang terahir ini adalah konsekwensi logis dari tiga paradigma di atas, karena tafsir kontemporer itu didasarkan pada semangat membuktikan al-Qur’an sebagai hidayah, rahmat untuk semua penghuni alam, menggunakan hermeneutika, sehingga terbebas dari pandangan sektarianisme, maka paradigma tafsir kontemporer itu kritis dan ilmiah. Menurut Mustaqim, keilmiahan bisa dilihat dari produk tafsir kontemporer yang dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsistensi metodologi yang dipakai dan siap menerima kritik dari komunitas akademik. Selain itu, tafsir kontemporer disebut kritis karena umumnya mufasir kontemporer tidak terjebak pada fanatisme mazhab, mereka justru kritis terhadap beberapa pandangan klasik atau kontemporer yang dianggap tidak kompatibel dengan konteks kekiniaan.

Oleh: Nurhalimah IQT V (Anggota Keilmuan HMP IQT 2023-2024)